Thursday 18 December 2014

PENANGANAN HIPOFUNGSI OVARIA PADA TERNAK SAPI

 

Identifikasi status reproduksi adalah serangkaian kegiatan pemeriksaan untuk memilah ternak ruminansia betina produktif dan ternak ruminansia betina tidak produktif. Sedangkan Ternak ruminansia betina produktif adalah ruminansia besar yang melahirkan kurang dari 5 kali, atau berumur di bawah 8 tahun dan ruminansia kecil yang melahirkan kurang dari 5 kali atau berumur di bawah 4 tahun 6 bulan (Anonim, 2011).
Bentuk gangguan reproduksi yang tampak pada sapi betina antara lain anestrus, repeat breeding serta nymphomania. Gangguan klinis yang tampak tersebut biasanya merupakan manifestasi dari gangguan yang ada pada organ-organ reproduksi, seperti adanya hipofungsi dan atrofi ovarium, corpus luteum persisten, ataupun gangguan endometritis pada uterus (Toelihere, 1985).
Menurut Hardjopranjoto (1995), kegagalan reproduksi di Indonesia lebih sering terletak pada kesalahan manajemen, seperti dalam pemberian pakan yang berlebih atau kekurangan, sedangkan dari pakan tersebut rendah khususnya kandungan vitamin, mineral dan energi yang dibutuhkan, sehingga dapat menyebabkan gangguan hormonal. Salah satu gangguan reproduksi yang dominan di Jawa Tengah adalah hipofungsi ovarium, yang pada tahun 2013 angkanya mencapai 59,7% dari seluruh kejadian gangguan reproduksi.
gambaran ovarium yang memiliki siklus normal dan yang mengalami hipofungsiFrost et al (1981) menyatakan bahwa hipofungsi ovarium atau ovarium yang kurang aktif adalah suatu keadaan dimana ovariumnya tidak terjadi pertumbuhan folikel can korpus luteum serta dengan permukaan yang licin sehingga daya kerjanya menurun dari normal. Hal ini dialami oleh sapi-sapi dara dan sapi-sapi dewasa setelah partus atau setelah diinseminasi, tetapi tidak terjadi konsepsi. Akibatnya tidak muncul birahi karena folikel tidak berkembang (anestrus) setelah gagalnya kelenjar hipofise anterior mensekresikan Follicle Stimulating Hormon (FSH) dalam jumlah yang cukup untuk pertumbuhan dan pembentukan folikel di ovarium.
Hipofungsi ovarium menjadi gangguan utama yang ditemukan dalam pemeriksaan status reproduksi pada ternak betina di Jawa Tengah. Angka kejadian hipofungsi ovari di Jawa Tengah pada tahun 2012 sebesar 6,05% dengan kejadian di Kabupaten Klaten sebesar 6,23% berdasarkan penelitian Salman (2013). Menurut Toelihere (1985), secara klinis yang lebih menonjol pada  sapi yang menderita hipofungsi ovarium adalah tidak adanya gejala birahi. Masih rendahnya kesadaran akan nutrisi ternak, serta lamanya masa laktasi dan pemeliharaan pedhet, membuat kondisi hipofungsi ovarium paling banyak ditemukan di Jawa Tengah.
Penanganan hipofungsi biasanya dengan penggunaan preparat hormon dan vitamin. Pemberian estrogen dalam kadar yang rendah dapat menyebabkan peningkatan output FSH dan perkembangan folikel. Sedangkan menurut Toelihere et al. (1980), pemberian progesteron akan memberi umpan balik negatif yang akan menghambat pengeluaran hormon gonadotropin untuk sementara waktu, sehingga pada saat pengaruh progesteron hilang dalam satu sampai dua hari maka hipofisis anterior memproduksi lebih banyak gonadotropin, sehingga akan menggertak ovarium dan mengakibatkan terjadinya pembentukan, pertumbuhan dan pematangan folikel. Gejala birahi dan ovulasi yang timbul merupakan tanda ovarium berfungsi dan kembali bekerja normal.
Penanggulangan hipofungsi ovarium berupa pemijatan pada ovarium dapat digunakan sebagai alternatif penggunaan preparat hormon yang terbilang mahal. Dengan perlakuan yang tepat, teknik pemijatan ovarium dapat secara efektif menimbulkan gejala birahi antara 10 – 14 hari setelah perlakuan karena dapat memperbaiki keseimbangan hormon, sehingga dapat mengembalikan fungsi ovarium sebagai organ reproduksi dan dapat digunakan dalam penanganan hipofungsi ovarium pada sapi perah.
Metode penanganan dengan perlakuan pemijatan ovarium pada ternak yang mengalami hipofungsi ovaria dilakukan secara per rektal dengan memijat halus dan hati-hati pada dinding ovarium selama kurang lebih 30 – 40 detik, diikuti dengan pemberian multivitamin AD3E 10 ml/ekor secara intramuskularis. Menurut Dalene-Barton (2014), pemijatan pada ovarium yang mengalami hipofungsi ovaria dapat memperbaiki keseimbangan hormon dengan memperkuat umpan-balik hormon, meningkatkan sirkulasi darah ke uterus, ovarium dan tuba fallopi, membawa darah yang kaya nutrisi, teroksigenasi dan segar ke sel telur, serta meningkatkan tonus uterus. Menutut Hunter (1986), rangsangan yang diberikan secara langsung dengan palpasi pada ovarium dapat memancing pelepasan hormon prostalglandin-f2α, oksitosin dan hormon peptida lainnya.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan dilakukan pemeriksaan status organ reproduksi per hari dan kadar hormon dalam darah. Juga diperlukan standar perlakuan pemijatan ovarium sebagai penanganan hipofungsi ovarium


Sumber Berita: http://dinakkeswan.jatengprov.go.id

No comments:

Post a Comment